Rabu, 25 Desember 2013

interaksionisme simbolik george herbert Blummer

II.1 Konteks Sosial yang melahirkan Teori ini
Teori interaksi simbolik disebut juga sebagai teori sosiologi interpretatif.   Konsep teori interaksi simbolik ini diperkenalkan oleh Herbert blumer sekitar tahun 1939. Dalam lingkup sosiologi, ide ini sebenarnya sudah lebih dahulu dikemukakan George Herbert Mead, tetapi kemudian dimodifikasi oleh blumer guna mencapai tujuan  tertentu.  Interaksi simbolik merupakan salah satu persepektif teori yang baru muncul setelah adanya teori aksi (action teory), yang dipelopori dan dikembangkan oleh Max Weber. Max Weber mengemukakan 5 ciri pokok yang  berkaitab dengan teori aksi (action teory) :
a.    Tindakan manusia, yang menurut aktor mengandung makna yang subyektif. Ini meliputi tindakan nyata.
b.    Tindakan nyata dan yang bersifat membatin sepenuhnya dan bersifat   subyektif.
c.    Tindakan yang meliputi pengaruh positif dari suatu situasi, tindakan yang sengaja diulang serta tindakan dalam bentuk persetujuan secara diam-diam.
d.   Tindakan itu diarahkan kepada seseorang atau kepada beberapa individu.
e.    Tindakan itu memperhatikan tindakan orang lain dan terarah kepada orang lain itu.

II.2 Pemikiran yang melatarbelakanginya
Menurut blumer, pokok pikiran interaksi simbolik ada 3:
1.      Bahwa manusia bertindak (act) terhadap sesuatu (thing) atas dasar makna (meaning);
2.      Makna itu berasal dari interaksi sosial seseorang dengan sesamanya;
3.      Makna itu diperlukan atau diubah melalui suatu proses penafsiran (interpretative prosess), yang digunakan orang dalam menghadapi sesuatu yang dijumpainya. Intinya, blumer hendak mengatakan bahwa makna yang muncul dari interaksi tersebut tidak begitu saja diterima seseorang, kecuali setelah individu itu menafsirkannya terlebih dahulu.

II.3 Latar Belakang Pribadi Teoritisi
Teori interaksionisme-simbolik dikembangkan oleh kelompok The Chicago School dengan tokoh-tokohnya seperti Goerge H.Mead dan Herbert Blummer.Awal perkembangan interaksionisme simbolik dapat dibagi menjadi dua aliran / mahzab yaitu aliran / mahzab Chicago, yang dipelopori oleh oleh Herbert Blumer, melanjutkan penelitian yang dilakukan George Herbert Mead. Blumer meyakini bahwa studi manusia tidak bisa diselenggarakan di dalam cara yang sama dari ketika studi tentang benda mati.
Istilah teori ini pertama kali diperkenalkan oleh Herbert Blumer dalam lingkup  sosiologi, sebenarnya ide ini telah dikemukakan oleh George Herbert Mead (guru  Blumer) yang kemudian dimodifikai oleh Blumer untuk tujuan tertentu.  Karakteristik dasar ide ini adalah suatu hubungan yang terjadi secara alami antara manusia dalam masyarakat dan hubungan masyarakat dengan individu. Interaksi yang terjadi antar individu berkembang melalui simbol-simbol yang nereka ciptakan. Masyarakat dan diri dipandang sebagai proses, yang bukan struktur untuk membekukan proses adalah untuk menghilangkan inti sari hubungan sosial. Masyarakat dan diri dipandang sebagai proses, yang bukan struktur untuk membekukan proses adalah untuk menghilangkan inti sari hubungan sosial.

II.4 Asumsi-Asumsi yang mendasarinya
Seseorang yang mengikuti pemikiran herbert blumer, ketika hendak menggunakan pendekatan interaksi simbolis maka ia akan menggunakan sejumlah asumsi-asumsi yang diperkenalkan blumer, yaitu:
1.      Manusia bertindak terhadap sesuatu berdasar makna-makna yang dimiliki benda itu bagi mereka. Asumsi ini menjelaskan prilaku sebagai suatu rangkaian pemikiran dan perilaku yang dilakukan secara sadar antara rangsangan dan respon orang berkaitan dengan rangsangan tersebut. Teoritikus SI seperti Habert Blumer tertarik dengan makna yang ada dibalik perilaku.Mereka mencari makna dengan mempelajari penjelasan psikologis dan sosiologis mengenai perilaku. Jadi, ketika Pengantar Teori Komunikasi, Richard West seorang SI melakukan kajian mengenai perilaku dari Roger Thomas, mereka melihatnya membuat makna yang sesuai dengan kekuatan sosial yang membentuk dirinya. Makna yang kita berikan pada simbol merupakan produk dari interaksi simbolik dan menggambarkan kesepakatan kita untuk menerapkan makna tertentu pada simbol tertentu pula.
2.      Makna-makna itu merupakan hasil dari interaksi sosial dalam masyarakat manusia. Pendekatan kedua terhadap asal-usul makna, melihat makna itu “dibawa kepada benda oleh seseorang bagi siapa benda itu bermakna” (Blumer,1969: 4). Posisi ini mendukung pemikiran bahwa makna terdapat didalam orang bukan didalam benda.Dalam sudut pandang ini, makna dijelaskan dengan mengisolasi elemen-elemen psikologis didalam seorang individu yang menghasilkan makna. SI mengambil pendekatan ketiga terhadap makna, melihat makna sebagai suatu yang terjadi di antara orang-orang. Makna adalah “produk sosial” atau “ciptaan yang dibentuk dalam dan melalui pendefinisian aktivitas mausia ketika mereka berinteraksi (Blumer,1969: 5).
3.      Makna-makna dimodifikasikan dan ditangani melalui suatu proses penafsiran yang digunakan oleh setiap individu dalam keterlibatannya dengan tanda-tanda yang dihadapinya. Blumer menyatakan bahwa proses intepretatif ini memiliki dua langkah. Pertama, para pelaku menentukan benda-benda yang memiliki makna. Blumer berargumen bahwa bagian dari proses ini berbeda dari pendekatan psikologis dan terdiri atas orang yang terlibat didalam komunikasi dengan dirinya sendiri. Langkah kedua melibatkan sipelaku untuk memilih, mengecek dan melakukan transformasi makna didalam konteks dimana mereka berada.

II.5 Pertanyaan Teoritisi yang harus dijawab
Setelah memahami teori ini, kemudian timbul pertanyaan mengenai proses terjadinya kehidupan masyarakat. Dapatkah teori interaksi simbolik mempertahankan argumennya mengenai kemampuan khas manusia, yang membedakannya dengan hewan, dengan menjawab pertanyaan tersebut?
Pertama, fakta sosial harus dianggap bukan sebagai pengendali dan pemaksa tindakan manusia.Fakta sosial berada pada kerangka simbol-simbol interaksi manusia, sehingga organisasi masyarakat merupakan kerangka yang mewadahi terjadinya tindakan-tindakan sosial, bukan merupakan faktor penentu dari tindakan sosial.
Individu-individu yang berada dalam unit tindakan saling menyesuaikan atau saling mencocokan tindakan mereka dalam proses tindakan kolektif dari individu yang tergabung dalam kelompok itu. Bagi teori ini, individu, interaksi, dan interpretasi merupakan tiga terminologi kunci dalam memahami kehidupan sosial.


II.6 Proporsi yang ditawarkan untuk dijadikan pedoman Hipotesis
Secara umum, ada 6 proporsi yang dipakai dalam konsep interaksi simbolik, yaitu:
1.      Perilaku manusia mempunyai makna dibalik yang menggejala;
2.      Pemaknaan kemanusiaan perlu dicari sumber pada interaksi sosial manusia:
3.      Masyarakat merupakan proses yang berkembang holistik, tak terpisah, tidak linier, dan tidak terduga;
4.      Perilaku manusia itu berlaku berdasar penafsiran fenomenologik, yaitu berlangsung atas maksud, pemaknaan, dan tujuan, dan bukan didasarkan atas proses mekanik dan otomatis;
5.      Konsep mental manusia itu berkembang dialektik; dan
6.      Perilaku manusia itu wajar dan konstruktif reaktif.

II.7 Analisis Realitas Sosial yang menjadi fokus Kajiannya
Interaksi simbolik dalam pembahasannya telah berhasil membuktikan adanya hubungan antara bahasa dan komunikasi.Sehingga, pendekatan ini menjadi dasar pemikiran ahli-ahli ilmu sosiolinguistik dan ilmu komunikasi.Ralph LaRossa dan Donald C.Reitzes mencatat tujuh asumsi yang mendasari teori interaksionisme simbolik, yang memperlihatkan tiga tema besar, yakni:
1.      Pentingnya makna bagi perilaku manusia
2.      Pentingnya konsep mengenai diri, dan
3.      Hubungan antara individu dan masyarakat.
Interaksionisme simbolik adalah salah satumodel penelitian budaya yangberusaha mengungkap realitas perilaku manusia.Falsafah dasar interaksionisme simbolik adalah fenomenologi. Namun,  dibanding  penelitian  naturalistik  dan etnografi  yang juga memanfaatkan  fenomenologi,  interaksionisme  simbolik memilikiparadigma penelitian tersendiri.
Model penelitian ini pun mulai bergeser dari awalnya, jika semula lebih mendasarkanpada interaksi kultural antarpersonal, sekarang telah berhubungandengan aspek masyarakat dan/atau kelompok. Karena itu bukan mustahil kalau awalnya  lebih  banyak dimanfaatkan oleh penelitian sosial, namun selanjutnyajuga diminati oleh penelitibudaya.
Perspektif interaksisimbolik berusaha  memahami budaya lewat  perilaku  manusia  yang terpantul dalam komunikasi. Interaksi simbolik lebih menekankan pada makna interaksi budaya sebuah komunitas. Makna esensial akan tercermin melalui komunikasi budaya antar warga setempat. Pada saatberkomunikasi jelas banyak menampilkansimbol yang bermakna, karenanyatugas peneliti menemukan makna tersebut.
Cara manusia mengartikan dunia dan diri sendiri berhubungan erat dengan masyarakatnya.Interaksi membuat seseorang mengenal dunia dan dirinya sendiri. Sebelum bertindak manusia mengenakan arti-arti tertentu kepada dunianya sesuai dengan skema-skema interpretasi yang telah  disampaikankepadanya melalui proses-proses sosial. Sehubungan dengan proses-proses tersebut yang mengawali perilaku manusia, konsep pengambilan peran (role taking) amat penting.
Sebelum seorang diri bertindak, ia membayangkan dirinya dalam posisi orang lain dan mencoba untuk memahami apa yaang diharapkan oleh pihak pihak lainnya. Semakin orang mengambil alih atau membatinkan perananperanan sosial, semakin terbentuk pula identitas atau kediriannya.Orang harus berkomunikasi supaya dapat berinteraksi lebih lanjut. Orang harus berpegang pada suatu perspektif bersama yang menghasilkan bahwa para pesrta memperoleh pandangan kurang lebih sama mengenai situasi dan peranan mereka masing-masing.
II.8 Metodologi yang digunakan (paradigma-paradigma)
Blumer menegaskan bahwa metodologi interaksi simbolik merupakan pengkajian fenomena sosial secara langsung. Tujuannya memperoleh gambaran lebih jelas mengenai apa yang sedang terjadi dalam lapangan subyek penelitian, dengan sikap yang selalu waspada atas urgensi menguji dan memperbaiki observasi-observasi. Hasil observasi itu disebut Blumer sebagai tindakan  “pemekaran konsep” (menambah kepekaan konsep yang digunakan). Sedangkan Prinsip metodologi interaksi simbolik ini sebagai berikut:
1.      Simbol dan interaksi itu menyatu. Tak cukup bila kita hanya merekam fakta. Kita juga harus mencari yang lebih jauh dari itu, yakni mencari konteks sehingga dapat ditangkap simbol dan makna sebenarnya.
2.      Karena simbol dan makna itu tak lepas dari sikap pribadi, maka jati diri subyek perlu “ditangkap”. Pemahaman mengenai konsep jati diri subyek yang demikian itu adalah penting.
3.      Peneliti harus sekaligus mengkaitkan antara simbol dan jati diri dengan lingkungan yang menjadi hubungan sosialnya. Konsep jati diri terkait dengan konsep sosiologis tentang struktur sosial, dan lainnya.
4.      Hendaknya direkam situasi yang menggambarkan simbol dan maknyanya, bukan hanya merekam fakta sensual.
5.      Metode-metode yang digunakan hendaknya mampu merefleksikan brentuk perilaku dan prosesnya.
6.      Metode yang dipakai hendaknya mampu menangkap makna dibalik interaksi.
7.      Sensitizing, yaitu sekadar mengarahkan pemikiran, itu yang cocok dengan interkasionisme simbolik, dan ketika mulai memasuki lapangan perlu dirumuskan menjadi yang lebih operasional, menjadi scientific concepts.
II.9 Bias (nilai, kepentingan, kekuasaan) dalam Teori ini
Interaksi simbolik menunjuk pada karakter interasksi husus yang berlangsung antar manusia.Herbert Blumer menyatakan, actor tidak semata-mata bereaksi terhadap tindakan yang lain, tetapi dia menafsirkan dan mendefinisikan setiap tindakan orang lain tersebut.Respon individu, baik langsung maupun tidak langsung, selalu didasarkan atas penilaian tersebut. Dengan demikian interaksi antar manusia dijembatani oleh penggunanan symbol-simbol penafsiran atau dengan menemukan makna tindakan orang lain.
Blumer melanjutan pernyataan tadi dengan mengatakan, behawa manusia itu memiliki kedirian dimana ia membuat dirinya menjadi objek dari tindakannya sendiri, atau ia bertindak menuju pada tindakan orang lain. Kedirian itu dijembatani oleh bahasa yang mendorong manusia untuk mengabstaraksikan sesuatu yang berasal dari lingkunganya.

Dari dua penryataan tersebut dapat ditarik kesimpulan, masyarakat itu terdiri dari individu-individu yang memiliki kedirian mereka sendiri; tindakan individu itu merupakan suatu konstruksi dan buka sesuatu yang lepas begitu saja, tindakan kolektif itu terdiri ats beberapa sususan tindakan sejumlah individu.

hukum tanah adat

hubungan hukum dengan konflik sosial

1. pendahuluan
1.1.Latar belakang
Kita sebagai makhluk social yang melakukan interaksi dengan masyarakat yang ada di sekitar kita pasti pernah mengalami suatu pertentangan atau perbedaan dengan orang – orang yang ada di sekitar kita. Pertentangan ini yang nantinya akan menjadi sebuah konflik yang jika dibiarkan akan menjadi suatu masalah yang akan membesar. Bisa dikatakan bahwa konflik merupakan suatu proses social antara satu orang atau lebih yang mana salah seorang di antaranya berusaha menyingkirkan pihak lain. Seperti yang dikatakan salah satu teori dari Karl Marx yang melihat masyarakat manusia sebagai sebuah proses perkembangan yang akan menyudahi konflik melalui konflik. Kalau kita melihat dari teori tersebut, bias kita simpulkan bahwa kita sebagai masyarakat tidak bias menghindari adanya konflik yang pastinya akan terjadi di kehidupan kita. Contoh kecil dari konflik yaitu dari lingkungan keluarga, terkadang kita mengalami perbedaan pendapat dengan salah satu anggota keluarga, yang nantinya pasti akan menjadi sebuah konflik karena konflik terjadi karena beberapa penyebab yang masing-masing mempunyai jalan tersendiri untuk menyelesaikan konflik tersebut. Ada empat bentuk konflik yaitu konflik tujuan, konflik peranan, konflik nilai dan konflik kebijakan. Konflik juga tidak begitu saja muncul tapi konflik mempunyai sumber-sumber yang menjadi patokan atu pemicu munculnya konflik antar individu maupun antar kelompok sosial.

1.2.Rumusan Masalah
1.      Apakah yang dimaksud dengan hukum?
2.      Apakah fungsi hukum?
3.      Apakah yang dimaksud dengan konflik sosial?
4.      Apa saja factor-faktor penyebab konflik sosial?
5.      Apa saja sumber-sumber terjadinya konflik sosial?
6.      Apa saja bentuk-bentuk konflik sosial?
7.      Bagaimana proses terjadinya konflik sosial?
8.      Bagaimana cara pengendalian konflik sosial?
9.      Bagaimana hubungan hukum dengan konflik sosial?


1.3. Tujuan Pembahasan
1.      Untuk mendeskripsikan definisi hukum.
2.      Untuk mendeskripsikan fungsi hukum.
3.      Untuk mendeskripsikan definisi konflik sosial.
4.      Untuk mendeskripsikan factor penyebab konflik sosial.
5.      Untuk mendeskripsikan sumber terjadinya konflik sosial.
6.      Untuk mendeskripsikan bentuk-bentuk konflik sosial.
7.      Untuk mendeskripsikan proses terjadinya konflik sosial.
8.      Untuk mendeskripsikan cara pengendalian konflik social?
9.      Untuk mendeskripsikan hubungan hukum dengan konflik sosial.

2.      Pembahasan
2.1. Pengertian Hukum
Hukum merupakan peraturan yang berupa norma dan sanksi yang dibuat dengan tujuan untuk mengatur tingkah laku manusia, menjaga ketertiban, keadilan, mencegah terjadinya kekacauan.Sedangkan pengertian hukum menurut beberapa ahli adalah:
Max weber: an order will be called law if it is externally quaranteed by the probability that coercion to bring about conformity or avenge violation, will be applied by a staff of people holding themselves specially ready for the purpose.
Thomas Aquinas: Hukum berasal dari Tuhan, maka dari itu hukum tidak boleh dilanggar.
Plato; Hukum merupakan peraturan-peraturan yang teratur dan tersusun baik yang mengikat masyarakat.
Van Kan: Keseluruhan aturan hidup yang bersifat memaksa untuk melindungi kepentingan manusia di dalam masyarakat.
Immanuel Kant: Keseluruhan syarat-syarat yang dengan ini kehendak bebas dari orang yang satu dapat menyesuaikan diri dengan kehendak bebas dari orang yang lain, menuruti peraturan hukum tentang kemerdekaan.
 Paul Scholten: Suatu petunjuk tentang apa yang layak dilakukan dan apa yang tidak layak dilakukan, yang bersifat perintah.


2.2. Fungsi Hukum
Dalam kehidupan bermasyarakat, hukum telah memainkan peranan yang sangat penting  dalam  menjaga  ketertiban dan ketentraman. Hal ini disebabkan karena hukum mengatur agar kepentingan masing-masing individu tidak bersinggungan dengan kepentingan umum, mengatur mengenai pelaksanaan hak dan kewajiban masyarakat atau para pihak dalam suatu hubungan hukum dan lain sebagainya
Adapun soeroso (1993:54-55) menyatakan bahwa fungsi hukum adalah sebagai alat pengatur tata tertib hubungan masyarakat, sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan social, dan sebagai penggerak pembangunan. Adapun fungsi hukum menurut para ahli adalah sebagai berikut:
ü  Menurut J.F. Glastra Van Loon: Hukum berfungsi sebagai sarana untuk menertibkan masyarakat dan mengatur pergaulan hidup masyarakat; Hukum berfungsi sebagai sarana untuk menyelesaikan sengketa atau pertikaian dalam masyarakat; Hukum berfungsi sebagai sarana untuk memelihara dan menjaga (mempertahankan) penegakan aturan tertib dengan cara yang memaksa; Hukum berfungsi untuk memelihara dan mempertahankan hak masyarakat; Hukum berfungsi sebagai sarana untuk mengubah peraturan agar sesuai dengan kebutuhan; Hukum berfungsi sebagai sarana untuk memenuhi tuntutan keadilan dan kepastian hukum.
ü  Menurut Prof.Dr. Soerjono Soekanto: Sebagai alat untuk melaksanakan ketertiban dan ketentraman dalam kehidupan bermasyarakat, sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan sosial, baik lahir maupun bathin, dan sebagai sarana untuk menggerakkan pembangunan bagi masyarakat.
ü  Menurut Prof.Dr. Sunaryati Hartono: Sebagai sarana untuk memelihara ketertiban dan keamanan dalam masyarakat; sebagai sarana  untuk melaksanakan pembangunan, sebagai sarana untuk menegakkan keadilan; dan sebagai sarana untuk memberikan pendidikan (mendidik) masyarakat.

2.3. Pengertian Konflik Sosial
Karl Marx melihat masyarakat sebagai sebuah proses perkembangan yang akan menyudahi konflik melalui konflik. Konflik dapat kita artikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.
Istilah konflik menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti percekcokan, perselisihan, pertentangan. Menurut asal katanya, istilah ‘konflik’ berasal dari bahasa Latin ‘confligo’, yang berarti bertabrakan, bertubrukan, terbentur, bentrokan, bertanding, berjuang, berselisih, atau berperang.
Dalam pustaka Sosiologi, ada banyak definisi mengenai konflik sosial. Berikut adalah beberapa diantaranya:
a.       Konflik sosial adalah perselisihan mengenai nilai-nilai atau tuntutan-tuntutan berkenaan dengan status, kuasa, dan sumber-sumber kekayaan yang persediaannya terbatas. Pihak-pihak yang sedang berselisih tidak hanya bermaksud untuk memperoleh sumber-sumber yang diinginkan, tetapi juga memojokkan, merugikan atau menghancurkan lawan mereka.(Lewis A Coser).
b.      Konflik sosial adalah suatu proses sosial dimana orang perorangan atau kelompok manusia berusaha untuk memenuhi apa yang menjadi tujuannya dengan jalan menentang pihak lain disertai dengan ancaman dan/atau kekerasan. (Leopold von Wiese).
c.       Konflik sosial adalah konfrontasi kekuasaan/kekuatan sosial. (R.J. Rummel).
d.      Konflik sosial adalah kondisi yang terjadi ketika dua pihak atau lebih menganggap ada perbedaan ‘posisi’ yang tidak selaras, tidak cukup sumber, dan/atau tindakan salah satu pihak menghalangi, mencampuri atau dalam beberapa hal membuat tujuan pihak lain kurang berhasil. (Duane Ruth-Heffelbower)

2.4. Faktor Penyebab Konflik Sosial
Konflik Antar Kelompok Sosial Disebabkan Oleh:
1.      Adanya perbedaan antar kelompok sosial, baik secara fisik maupun mental, atau perbedaan kemampuan, pendirian, dan perasaan sehingga menimbulkan pertikaian atau bentrokan di antara mereka.
2.      Perbedaan pola kebudayaan seperti prbedaan adat istiadat, suku bangsa, agama, paham politik, pandangan hidup, dan budaya darah sehingga mendorong timbulnya persaingan dan pertentangan, bahkan bentrokan di antara anggota kelompok sosial tersebut.
3.      Perbedaan mayoritas dan minoritas yang dapat menimbulkan kesenjangan sosian di antara kelompok sosial tersebut. Misalnya antara etnis Cina (minoritas) dan etnis pribumi (mayoritas).
4.      Perbedaan kepentingan antar kelompok sosial, seperti perbedaan kepentingan politik, ekonomi, sosial, budaya, agama, dan sejenisnya merupakan faktor penyebab timbulnya konflik.
5.      Perbedaan individu. Perbedaan kepribadian antar individu bisa menjadi faktor penyebab terjadinya konflik, biasanya perbedaan individu yang menjadi sumber konflik adalah perbedaan pendirian dan perasaan. Setiap manusia adalah individu yang unik, artinya setiap orang memiliki pendirian dan perasaan yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Perbedaan pendirian dan perasaan akan sesuatu hal atau lingkungan yang nyata ini dapat menjadi faktor penyebab konflik sosial, sebab dalam menjalani hubungan sosial, seseorang tidak selalu sejalan dengan kelompoknya. Misalnya, ketika berlangsung pentas musik di lingkungan pemukiman, tentu perasaan setiap warganya akan berbedabeda. Ada yang merasa terganggu karena berisik, tetapi ada pula yang merasa terhibur.
6.      Perbedaan latar belakang kebudayaan. Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi yang berbeda. Seseorang sedikit banyak akan terpengaruh dengan pola-pola pemikiran dan pendirian kelompoknya. Pemikiran dan pendirian yang berbeda itu pada akhirnya akan menghasilkan perbedaan individu yang dapat menghasilkan konflik.
7.      Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok Manusia memiliki perasaan, pendirian maupun latar belakang kebudayaan.
8.      Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat. Perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika perubahan itu berlangsung cepat atau bahkan mendadak, perubahan tersebut dapat memicu terjadinya konflik sosial. Misalnya, pada masyarakat pedesaan yang mengalami proses industrialisasi yang mendadak akan memunculkan konflik sosial sebab nilai-nilai lama pada masyarakat tradisional yang biasanya bercorak pertanian secara cepat berubah menjadi nilai-nilai masyarakat industri.
Konflik antar suku bangsa:
Dalam kehidupan masyrakat multikultural seperti indonesia, antara kelompok suku bangsa yang satu dan suku bangsa yang lain terdapat perbedaan- perbedaan yang khas. Perbedaan – perbedaan tersebut mencakup  hal – hal sebagai berikut :
1.      Perbedaan tata susuanan dan kekerabatan, misalnya patrilineal, matrilineal, dan parental.
2.       Perbedaan seni bangunan rumah, peralatan kerja, dan pakaian-pakaian adat.
3.      Perbedaan kesenian daerah, misalnya tarian, musik, seni lukis, dan seni pahat.
4.      Perbedaan adat istiadat dalam perkawinan, upacara ritual, dan hukum adat.
5.      Perbedaan bahasa daerah, misalnya bahasa Jawa, Sunda, Madura, Bali, Batak, Papua, Makassar, dan Minangkabau
Perbedaan di atas, sering kali dapat menjadi pemicu timbulnya konflik antar kelompok suku bangsa.
Konflik antar kelompok RAS:
Tiap-tiap kelompok ras pasti menyadari perbedaan-perbedaan dalam kelompoknya, misalnya tabiat, tingkah laku, etika pergaulan, dan ciri – ciri fisik (warna kulit, warna mata,warna dan bentuk rambut, serta bentuk hidung). Adanya perbedaan tersebut menyebabkan antara kelompok ras satu dan kelompok ras yang lainnya terjadi pertenatangan. Misalnya, ras kulit hitam dengan ras kulit putih yang menimbulkan politik apartheid yang merendahkan martabat orang kulit hitam.

2.5. Sumber- Sumber Terjadinya Konflik Sosial
Konflik yang terjadi pada manusia bersumber pada berbagai macam sebab. Begitu beragamnya sumber konflik yang terjadi antar manusia, sehingga sulit itu untuk dideskripsikan secara jelas dan terperinci sumber dari konflik. Hal ini dikarenakan sesuatu yang seharusnya bisa menjadi sumber konflik, tetapi pada kelompok manusia tertentu ternyata tidak menjadi sumber konflik, demikian halnya sebaliknya. suatu konflik dapat terjadi karena perbendaan pendapat, salah paham, ada pihak yang dirugikan, dan perasaan sensitif.
1. Perbedaan pendapat
Suatu konflik yang terjadi karena pebedaan pendapat dimana masing-masing pihak merasa dirinya benar, tidak ada yang mau mengakui kesalahan, dan apabila perbedaan pendapat tersebut amat tajam maka dapat menimbulkan rasa kurang enak, ketegangan dan sebagainya.
2. Salah paham
Salah paham merupakan salah satu hal yang dapat menimbulkan konflik. Misalnya tindakan dari seseorang yang tujuan sebenarnya baik tetapi diterima sebaliknya oleh individu yang lain.
3. Ada pihak yang dirugikan
Tindakan salah satu pihak mungkin dianggap merugikan yang lain atau masing-masing pihak merasa dirugikan pihak lain sehingga seseorang yang dirugikan merasa kurang enak, kurang senang atau bahkan membenci.
4. Perasaan sensitif
Seseorang yang terlalu perasa sehingga sering menyalah artikan tindakan orang lain. Kadang sesuatu yang sifatnya sepele bisa menjadi sumber konflik antara manusia. Konflik dilatar belakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi. perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Dengan dibawa sertanya ciri-ciri individual dalam interaksi sosial, konflik merupakan situasi yang wajar dalam setiap masyarakat dan tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri. Kesimpulannya sumber konflik itu sangat beragam dan kadang sifatnya tidak rasional. Oleh karena kita tidak bisa menetapkan secara tegas bahwa yang menjadi sumber konflik adalah sesuatu hal tertentu, apalagi hanya didasarkan pada hal-hal yang sifatnya rasional. Pada umumnya penyebab munculnya konflik kepentingan sebagai berikut:
1.      Perbedaan kebutuhan, nilai, dan tujuan.
2.      Langkanya sumber daya seperti kekuatan, pengaruh, ruang, waktu, uang, popularitas dan posisi, dan Persaingan.
2.6. Bentuk-Bentuk Konflik Sosial
Soetopo (1999) mengklasifikasikan jenis konflik, dipandang dari segi materinya menjadi empat, yaitu:
1.       Konflik tujuan: Konflik tujuan terjadi jika ada dua tujuan atau yang kompetitif bahkan yang kontradiktif.
2.       Konflik peranan: Konflik peranan timbul karena manusia memiliki lebih dari satu peranan dan tiap peranan tidak selalu memiliki kepentingan yang sama.
3.        Konflik nilai; Konflik nilai dapat muncul karena pada dasarnya nilai yang dimiliki setiap individu dalam organisasi tidak sama, sehingga konflik dapat terjadi antar individu, individu dengan kelompok, kelompok dengan organisasi.
4.       Konflik kebijakan: Konflik kebijakan dapat terjadi karena ada ketidaksetujuan individu atau kelompok terhadap perbedaan kebijakan yang dikemukakan oleh satu pihak dan kebijakan lainnya.


2.7. Proses Terjadinya Konflik Sosial
Karakter pribadi yang mencakup sistem nilai individual tiap orang dan karakteristik kepribadian, serta perbedaan individual bisa menjadi titik awal dari konflik. Kognisi dan personalisasi adalah persepsi dari salah satu pihak atau masing-masing pihak terhadap konflik yang sedang dihadapi. Kesadaran oleh satu pihak atau lebih akan eksistensi kondisi-kondisi yang menciptakan kesempatan untuk timbulnya konflik. Bilamana hal ini terjadi dan berlanjut pada tingkan terasakan, yaitu pelibatan emosional dalam suatu konflik yang akan menciptakan kecemasan, ketegangan, frustasi dan pemusuhan. Maksud adalah keputusan untuk bertindak dalam suatu cara tertentu dari pihak-pihak yang berkonflik. Maksud dari pihak yang berkonflik ini akan tercermin atau terwujud dalam perilaku, walaupun tidak selalu konsisten.
Menurut Robbins (1996) proses konflik terdiri dari lima tahap, yaitu:
1.      Oposisi atau ketidakcocokan potensial
2.      Kognisi dan personalisasi.
3.      Maksud.
4.      Perilaku.
5.      Hasil.
Oposisi atau ketidakcocokan potensial adalah adanya kondisi yang mencipta-kan kesempatan untuk munculnya koinflik. Kondisi ini tidak perlu langsung mengarah ke konflik, tetapi salah satu kondisi itu perlu jika konflik itu harus muncul. Kondisi tersebut dikelompokkan dalam kategori: komunikasi, struktur, dan variabel pribadi. Komunikasi yang buruk merupakan alasan utama dari konflik, selain itu masalah-masalah dalam proses komunikasi berperan dalam menghalangi kolaborasi dan merangsang kesalahpahaman. Struktur juga bisa menjadi titik awal dari konflik. Struktur dalam hal ini meliputi: ukuran, derajat spesialisasi dalam tugas yang diberikan kepada anggota kelompok, kejelasan jurisdiksi, kecocokan anggota tujuan, gaya kepemimpinan, sistem imbalan, dan derajat ketergantungan antara kelompok-kelompok. Variabel pribadi juga bisa menjadi titik awal dari konflik. Pernahkah kita mengalami situasi ketika bertemu dengan orang langsung tidak menyukainya? Apakah itu kumisnya, suaranya, pakaiannya dan sebagainya. Karakter pribadi yang mencakup sistem nilai individual tiap orang dan karakteristik kepribadian, serta perbedaan individual bisa menjadi titik awal dari konflik. Kognisi dan personalisasi adalah persepsi dari salah satu pihak atau masing-masing pihak terhadap konflik yang sedang dihadapi. Kesadaran oleh satu pihak atau lebih akan eksistensi kondisi-kondisi yang menciptakan kesempatan untuk timbulnya konflik. Bilamana hal ini terjadi dan berlanjut pada tingkan terasakan, yaitu pelibatan emosional dalam suatu konflik yang akan menciptakan kecemasan, ketegangan, frustasi dan pemusuhan. Maksud adalah keputusan untuk bertindak dalam suatu cara tertentu dari pihak-pihak yang berkonflik. Maksud dari pihak yang berkonflik ini akan tercermin atau terwujud dalam perilaku, walaupun tidak selalu konsisten. Maksud dalam penanganan suatu konflik ada lima, yaitu:
1.      Bersaing, tegas dan tidak kooperatif, yaitu suatu hasrat untuk memuaskan kepentingan seseorang atau diri sendiri, tidak peduli dampaknya terhadap pihak lain dalam suatu episode konflik.
2.      Berkolaborasi, bila pihak-pihak yang berkonflik masing-masing berhasrat untuk memenuhi sepenuhnya kepentingan dari semua pihak, kooperatif dan pencaharian hasil yang bermanfaat bagi semua pihak.
3.      Mengindar, bilamana salah satu dari pihak-pihak yang berkonflik mempunyai hasrat untuk menarik diri, mengabaikan dari atau menekan suatu konflik.
4.      Mengakomodasi, bila satu pihak berusaha untuk memuaskan seorang lawan, atau kesediaan dari salah satu pihak dalam suatu konflik untuk menaruh kepentingan lawannya diatas kepentingannya.
5.      Berkompromi, adalah suatu situasi di mana masing-masing pihak dalam suatu konflik bersedia untuk melepaskan atau mengurangi tuntutannya masing-masing.
Perilaku mencakup pernyataan, tindakan, dan reaksi yang dibuat an untuk menghancurkan pihak lain, serangan fisik yang agresif, ancaman dan ultimatun, serangan verbal yang tegas, pertanyaan atau tantangan terang-terangan terhadap pihak lain, dan ketidaksepakatan atau salah paham kecil. Hasil adalah jalinan aksi-reaksi antara pihak-pihak yang berkonflik dan menghasilkan konsekuensi. Hasil bisa fungsional dalam arti konflik menghasilkan suatu perbaikan kinerja kelompok, atau disfungsional dalam arti merintangi kinerja kelompok.oleh pihak-pihak yang berkonflik. Perilaku meliputi: upaya terang-terangan untuk menghancurkan pihak lain, serangan fisik yang agresif, ancaman dan ultimatun, serangan verbal yang tegas, pertanyaan atau tantangan terang-terangan terhadap pihak lain, dan ketidaksepakatan atau salahpaham kecil. Hasil adalah jalinan aksi-reaksi antara pihak-pihak yang berkonflik dan menghasilkan konsekuensi. Hasil bisa fungsional dalam arti konflik menghasilkan suatu perbaikan kinerja kelompok, atau disfungsional dalam arti merintangi kinerja kelompok.
Konflik sosial bisa terjadi pada setiap lapisan masyarakat dan golongan. Dengan suatu pertentangan yang bisa dijadikan ukuran untuk melakukan suatu pemberontakan, maka konflik tersebut tidak bisa dihindari lagi karena Pertentangan dikatakan sebagai konflik manakala pertentangan itu bersifat langsung, yakni ditandai interaksi timbal balik di antara pihakpihak yang bertentangan. Selain itu, pertentangan itu juga dilakukan atas dasar kesadaran pada masing-masing pihak bahwa mereka saling berbeda atau berlawanan . Dalam hubungannya dengan pertentangan sebagai konflik, Marck, Synder dan Gurr membuat kriteria yang menandai suatu pertentangan sebagai konflik. Pertama, sebuah konflik harus melibatkan dua atau lebih pihak di dalamnya; Kedua, pihak-pihak tersebut saling tarik-menarik dalam aksi-aksi saling memusuhi (mutualy opposing actions). Ketiga, mereka biasanya cenderung menjalankan perilaku koersif untuk menghadapi dan menghancurkan “sang musuh”. Keempat, interaksi pertentangan di antara pihak-pihak itu berada dalam keadaan yang tegas, karena itu keberadaan peristiwa pertentangan itu dapat dideteksi dan dimufakati dengan mudah oleh para pengamat yang tidak terlibat dalam pertentangan. Konflik dalam pengertian yang luas dapat dikatakan sebagai segala bentuk hubungan antar manusia yang bersifat berlawanan. Konflik adalah relasi-relasi psikologis yang antagonis, berkaitan dengan tujuan-tujuan yang tak bisa dipertemukan, sikap-sikap emosional yang bermusuhan, dan struktur-struktur nilai yang berbeda.
Konflik juga merupakan suatu interaksi yang antagonis mencakup tingkah laku lahiriah yang tampak jelas mulai dari bentuk perlawanan halus, terkontrol, tersembunyi, tak langsung, sampai pada bentuk perlawanan terbuka. Konflik dapat dikatakan sebagai suatu oposisi atau pertentangan pendapat antara orang-orang, kelompok-kelompok, organisasi-organisasi yang disebabkan oleh adanya berbagai macam perkembangan dan perubahan dalam bidang manajemen, serta menimbulkan perbedaan pendapat, keyakinan dan ide. Hocker & Wilmot (1991) memberikan definisi yang cukup luas terhadap konflik sebagai “an expressed struggle betwen at least two interdependent parties who perceive incompatibel goal, scarce rewards, and interference from the other parties in achieving their goals”. Seseorang dikatakan terlibat konflik dengan pihak lain jika sejumlah ketidaksepakatan muncul antara keduanya, dan masing-masing menyadari adanya ketidaksepakatan itu. Jika hanya satu pihak yang merasakan ketidaksetujuan, sedang yang lain tidak, maka belum bisa dikatakan konflik antara dua pihak. Dengan kata lain, dua pihak harus menyadari adanya masalah sebelum mereka berada di dalam konflik. Semua konflik seringkali dipandang sebagai pencapaian tujuan satu pihak dan merupakan kegagalan pencapaian tujuan pihak lain. Hal ini karena seringkali orang memandang tujuannya sendiri secara lebih penting, sehingga meskipun konflik yang ada sebenarnya merupakan konflik yang kecil, seolah-olah tampak sebagai konflik yang besar.
Konflik muncul diakibatkan salah satunya perebutan sumberdaya. Misalnya, jika dua orang duduk sebangku dalam kelas, maka bangku itu menjadi sumberdaya. Apabila salah satu pihak bertingkah laku seakanakan mau menguasai kamar, pihak lain akan terganggu maka terjadilah konflik diakibatkan sumberdaya. Pihak-pihak yang berkonflik saling tergantung satu sama lain, karena kepuasan seseorang tergantung perilaku pihak lain. Jika kedua pihak merasa tidak perlu untuk menyelesaikan masalah, maka perpecahan tidak dapat dihindari. Banyak konflik yang tidak terselesaikan karena masing-masing pihak tidak memahami sifat saling ketergantungan. Selama ini konflik sering dihubungkan dengan agresi. Broadman & Horowitz  menyatakan bahwa konflik dan agresi merupakan dua hal yang berbeda. Konflik tidak selalu menghasilkan kerugian, tetapi juga membawa dampak yang konstruktif bagi pihak-pihak yang terlibat, sedangkan agresi hanya membawa dampak-dampak yang merugikan bagi individu.


2.8. Cara Pengendalian Konflik Sosial
Pengendalian konflik dapat dilakukan melalui tiga cara, yaitu dengan konsiliasi (conciliation), mediasi (mediation), dan perwasitan (arbitration). Konflik bertentangan dengan integrasi. Konflik dan integrasi berjalan sebagai sebuah siklus di masyarakat. Konflik yang terkontrol akan menghasilkan integrasi. Sebaliknya, integrasi yang tidak sempurna dapat menciptakan konflik. Pengendalian konflik dengan cara konsiliasi, terwujud melalui lembaga-lembaga tertentu yang memungkinkan tumbuhnya pola diskusi dan pengambilan keputusan di antara pihak-pihak yang berkonflik. Lembaga yang dimaksud diharapkan berfungsi secara efektif, yang sedikitnya memenuhi empat hal:
1.      Harus mampu mengambil keputusan secara otonom, tanpa campur tangan dari badan-badan lain.
2.      Lembaga harus bersifat monopolistis, dalam arti hanya lembaga itulah yang berfungsi demikian
3.      Lembaga harus mampu mengikat kepentingan bagi pihak-pihak yang berkonflik.
4.      Lembaga tersebut harus bersifat demokratis.
Tanpa keempat hal tersebut, konflik yang terjadi di antara beberapa kekuatan sosial, akan muncul ke bawah permukaan, yang pada saatnya akan meledak kembali dalam bentuk kekerasan. Pengendalian dengan cara mediasi, dengan maksud bahwa  pihak-pihak yang berkonflik bersepakat untuk menunjuk pihak ketiga yang akan memberikan nasihat-nasihat, berkaitan dengan penyelesaian terbaik terhadap konflik yang mereka alami. Pengendalian konflik dengan cara perwasitan, dimaksudkan bahwa pihak-pihak yang berkonflik bersepakat untuk menerima pihak ketiga, yang akan berperan untuk memberikan keputusan-keputusan, dalam rangka menyelesaikan yang ada. Berbeda dengan mediasi, cara perwasitan mengharuskan pihak-pihak yang berkonflik untuk menerima keputusan yang diambil oleh pihak wasit.
2.9.Hubungan Hukum Dengan Konflik Sosial
Ungkapan dalam sosiologi hukum yang lazim kita kenal berupa “Ubi Societas Ibi Ius”, artinya dimana ada masyarakat disitu pasti ada hukum, yang gunanya adalah untuk menjamin pulihnya keadaan sesegera mungkin setiap kali setelah terjadinya pelanggaran (pelanggaran hukum  apa saja) terhadap hukum yang menimbulkan keresahan di masyarakat. Dengan demikian hukum merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat, karena hukum itu diciptakan dan tumbuh berkembang dalam masyarakat untuk mengatur tata pergaulan hidup agar tercipta ketertiban dan  harmonis sesuai dengan tatanan kehidupan yang berlaku dalam masyarakat.
Hukum dalam masyarakat juga harus menunjukkan segi formalnya mengenai kehidupan hukum itu sendiri, artinya disebut sebagai tulang-tulang yang menjadi kerangka bagi bangunan hukum itu sendiri, sedangkan kata “masyarakat” dalam kaitan ini bolehlah diibaratkan sebagai “dagingnya” Jadi ada kerangkanya dan ada dagingnya. Oleh karena itu unsur bangunan hukum dalam suatu masyarakat terdiri dari (1) sistem peraturan itu sendiri, (2) segi ideologisnya, (3) segi manusianya, (4) segi struktur kemasyarakatannya dan (5) segi fasilitas-fasilitas fisiknya.
Achmad Ali menjelaskan bahwa penerapan hukum itu dalam hal tidak ada konflik dan dalam hal terjadi konflik. Sehubungan dengan itu, hukum berfungsi sebagai mekanisme untuk melakukan integrasi terhadap berbagai kepentingan warga masyarakat, yang berlaku baik ada konflik maupun tidak ada konflik. Akan tetapi harus diketahui bahwa dalam penyelesaian konflik konflik kemasyarakatan, bukan hanya hukum satu-satunya sarana pengintegrasi, melainkan masih terdapat sarana pengintegrasi lain seperti kaedah agama, kaedah moral, dan sebagainya.
Pada prinsipnya kehadiran hukum berkaitan erat dengan salah satu bentuk penyelesaian konflik yang netral dan tidak memihak. Dengan demikian terdapat suatu hubungan yang erat antara hukum dengan konflik, sebagaimana telah dikatakan oleh Uger didalam bukunya Soerjono Soekanto,  yang telah  membagi konflik atas tiga bagian, yaitu: (1) konflik antara kepentingan pribadi dengan kepentingan sosial, (2) konflik antara kebebasan dengan paksaan, (3) konflik antara negara dengan masyarakat. Kemudian Uger menempatkan studi hukum di dalam kerangka permasalahan umum dalam teori sosial seperti pada ketiga konflik tersebut di atas. Sehingga dalam menyelesaian konflik  penegakan hukum sangat penting, (dengan sendirinya tidak mengabaikan betapa pentingnya juga penyelesaian melalui jalur non juridis).

Sebenarnya secara substansial berbagai peraturan perundang-undangan untuk menyelesaikan konflik sosial yang terjadi selama ini sudah tersedia, namun realitas yang kita temui sampai saat ini penyelesaian konflik sosial sulit diselesaikan melalui pendekatan judicial, seolah-olah hukum sudah mati sebagaimana dikatakan oleh M. Trubek dikala sistem penegakan hukum  dihadapkan pada konflik sosial yang sudah anarkhi, sehingga merupakan suatu tontonan atas  keresahan, dan kesenjangan yang setiap hari dapat  kita lihat  di negeri ini, sehingga prinsip-prinsip untuk menjunjung supremasi hukum demi terwujudkan keadaan dan kepastian hukum lebih tepat disebut sebagai retorika saja. Oleh karena itu ada  beberapa proposisi yang berkaitan dengan kekurang berdayaan penegakan hukum untuk mengatasi konflik sosial yaitu: (1) aparat hukum memang tidak memiliki komitmen untuk mewujudkan supremasi hukum, (2) komitmen yang ada ternyata  tidak cukup tinggi, sehingga supremasi hukum yang terwujud berbentuk setengah-setengah, inkonsisten,  dan atau diskriminatif, dan (3)  terdapatnya komitmen yang tinggi atau cukup kuat untuk mewujudkan supremasi hukum, namun banyak kendala yang dihadapi karena pengakan hukum tidak bisa hanya dilakukan tanda dukungan maupun kerja sama dengan pihak-pihak terkait, utamanya juga kesadaran dari masyarakatnya sendiri.
Secara khusus dalam Perpres Nomor 7 Tahun 2005 pada Bab 4 tentang Peningkatan Keamanan, Ketertiban, dan Penanggulangan Kriminalitas, telah menjadikan suatu permasalahan yang harus diperbaiki yaitu “kurangnya profesionalisme lembaga kepolisian”. Oleh karena itu, diperlukan lembaga kepolisian yang memiliki profesionalisme yang efektif, efisien, dan akuntabel, yang mengintegrasikan aspek struktural (institusi, organisasi, susunan, dan kedudukan), aspek instrumentalia (filosopi, doktrin, kewenangan, konpetensi, kemampuan, fungsi, dan iptek), dan aspek kultur (sumber daya, manajemen operasional, dan sistem pengamanan masyarakat).

3.      Penutup
3.1. simpulan
Manusia sebagai makhluk social yang selalu berinteraksi dengan sesama yang ketika melakukan suatu interaki dengan sesama manusia terkadang diwarnai dengan adanya konflik karena konflik merupakan bagian dari kehidupan manusia. Perbedaan dan pertentangan – pertentangan yang terkadang terjadi di antara sesama bias menyebabkan suatu masalah yang jika terus dibiarkan berlarut – larut akan menyebabkan suatu masalah yang besar. Biasanya konflik – konflik yang terjadi bias menghasilakn sesuatu yang lain dari sebelumnya, yang antara lain adalah meningkatkan solidaritas antara sesama kelompok, keretakan antar kelompok yang bertikai, kerus harta benda dan hilangnya  nyawa manusia, perubahan kepribadian individu, dan lain – lain.
Sebenarnya antara hukum dan konflik merupakan dua komponen yang tidak dapat dipisahkan, satu dengan yang lain, karena hukum dibentuk antara lain untuk mengatasi atau menyelesaikan suatu konflik.

3.2. saran
Sebaiknya kita sebagai bangsa ang beragama dan juga Negara kita adalah Negara hukum,berusaha menghindari adanya konflik sosial di antara masyarakat, agar Negara kita ini  bisa menjadi Negara yang penuh dengan kedamaian dan bebas dari konflik dan pertentangan.





DAFTAR RUJUKAN


Soekanto, Soerjono. 2006.Sosiologi, Suatu Pengantar. Jakarta : PT Rajagrafindo.

Campbell, Tom. 1994. Tujuh Teori Sosial, Sketsa Penilaian perbandingan. Yogyakarta: kaanisius.

Bhara, Gabe. 2011. Konflik Social Ditinjau Dari Aspek Penegakan Hukum, (Online), (Http://Gabebhara.Blogspot.Com/2011/08/Konflik-Sosial-Ditinjau-Dari-Aspek.Html). Diakses 1 Desember 2013.

Ube, Ahmad. Pengkajian Hukum Tentang Mekanisme Penanganan Konflik Social. (Online), (Http://Www.Bphn.Go.Id/Data/Documents/Pkj-2011-10.Pdf). Diakses 8 desember 2013.

Ridwan, abdur. 2012. Konflik social.(online), (http://bestudy.wordpress.com/2012/11/25/konflik-sosial/ ). Diakses  8 desember 2013.