1.
pendahuluan
1.1.Latar
belakang
Kita sebagai
makhluk social yang melakukan interaksi dengan masyarakat yang ada di sekitar
kita pasti pernah mengalami suatu pertentangan atau perbedaan dengan orang –
orang yang ada di sekitar kita. Pertentangan ini yang nantinya akan menjadi
sebuah konflik yang jika dibiarkan akan menjadi suatu masalah yang akan
membesar. Bisa dikatakan bahwa konflik merupakan suatu proses social antara
satu orang atau lebih yang mana salah seorang di antaranya berusaha
menyingkirkan pihak lain. Seperti yang dikatakan salah satu teori dari Karl
Marx yang melihat masyarakat manusia sebagai sebuah proses perkembangan yang
akan menyudahi konflik melalui konflik. Kalau kita melihat dari teori tersebut,
bias kita simpulkan bahwa kita sebagai masyarakat tidak bias menghindari adanya
konflik yang pastinya akan terjadi di kehidupan kita. Contoh kecil dari konflik
yaitu dari lingkungan keluarga, terkadang kita mengalami perbedaan pendapat
dengan salah satu anggota keluarga, yang nantinya pasti akan menjadi sebuah
konflik karena konflik terjadi karena beberapa penyebab yang masing-masing
mempunyai jalan tersendiri untuk menyelesaikan konflik tersebut. Ada empat
bentuk konflik yaitu konflik tujuan, konflik peranan, konflik nilai dan konflik
kebijakan. Konflik juga tidak begitu saja muncul tapi konflik mempunyai sumber-sumber
yang menjadi patokan atu pemicu munculnya konflik antar individu maupun antar
kelompok sosial.
1.2.Rumusan
Masalah
1.
Apakah yang dimaksud dengan hukum?
2.
Apakah fungsi hukum?
3.
Apakah yang dimaksud dengan konflik sosial?
4.
Apa saja factor-faktor penyebab konflik
sosial?
5.
Apa saja sumber-sumber terjadinya
konflik sosial?
6.
Apa saja bentuk-bentuk konflik sosial?
7.
Bagaimana proses terjadinya konflik
sosial?
8.
Bagaimana cara pengendalian konflik sosial?
9.
Bagaimana hubungan hukum dengan konflik
sosial?
1.3.
Tujuan Pembahasan
1. Untuk
mendeskripsikan definisi hukum.
2. Untuk
mendeskripsikan fungsi hukum.
3. Untuk
mendeskripsikan definisi konflik sosial.
4. Untuk
mendeskripsikan factor penyebab konflik sosial.
5. Untuk
mendeskripsikan sumber terjadinya konflik sosial.
6. Untuk
mendeskripsikan bentuk-bentuk konflik sosial.
7. Untuk
mendeskripsikan proses terjadinya konflik sosial.
8. Untuk
mendeskripsikan cara pengendalian konflik social?
9. Untuk
mendeskripsikan hubungan hukum dengan konflik sosial.
2.
Pembahasan
2.1.
Pengertian Hukum
Hukum
merupakan peraturan yang berupa norma dan sanksi yang dibuat dengan tujuan
untuk mengatur tingkah laku manusia, menjaga ketertiban, keadilan, mencegah
terjadinya kekacauan.Sedangkan pengertian hukum menurut beberapa ahli adalah:
Max weber: an order
will be called law if it is externally quaranteed by the probability that
coercion to bring about conformity or avenge violation, will be applied by a
staff of people holding themselves specially ready for the purpose.
Thomas Aquinas: Hukum
berasal dari Tuhan, maka dari itu hukum tidak boleh dilanggar.
Plato; Hukum merupakan
peraturan-peraturan yang teratur dan tersusun baik yang mengikat masyarakat.
Van Kan: Keseluruhan
aturan hidup yang bersifat memaksa untuk melindungi kepentingan manusia di
dalam masyarakat.
Immanuel Kant:
Keseluruhan syarat-syarat yang dengan ini kehendak bebas dari orang yang satu
dapat menyesuaikan diri dengan kehendak bebas dari orang yang lain, menuruti
peraturan hukum tentang kemerdekaan.
Paul Scholten: Suatu petunjuk tentang apa yang
layak dilakukan dan apa yang tidak layak dilakukan, yang bersifat perintah.
2.2.
Fungsi Hukum
Dalam
kehidupan bermasyarakat, hukum telah memainkan peranan yang sangat
penting dalam menjaga ketertiban dan ketentraman. Hal ini
disebabkan karena hukum mengatur agar kepentingan masing-masing individu tidak
bersinggungan dengan kepentingan umum, mengatur mengenai pelaksanaan hak dan
kewajiban masyarakat atau para pihak dalam suatu hubungan hukum dan lain
sebagainya
Adapun
soeroso (1993:54-55) menyatakan bahwa fungsi hukum adalah sebagai alat pengatur
tata tertib hubungan masyarakat, sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan
social, dan sebagai penggerak pembangunan. Adapun fungsi hukum menurut para
ahli adalah sebagai berikut:
ü Menurut
J.F. Glastra Van Loon: Hukum berfungsi sebagai sarana untuk menertibkan
masyarakat dan mengatur pergaulan hidup masyarakat; Hukum berfungsi sebagai
sarana untuk menyelesaikan sengketa atau pertikaian dalam masyarakat; Hukum
berfungsi sebagai sarana untuk memelihara dan menjaga (mempertahankan)
penegakan aturan tertib dengan cara yang memaksa; Hukum berfungsi untuk
memelihara dan mempertahankan hak masyarakat; Hukum berfungsi sebagai sarana
untuk mengubah peraturan agar sesuai dengan kebutuhan; Hukum berfungsi sebagai
sarana untuk memenuhi tuntutan keadilan dan kepastian hukum.
ü Menurut
Prof.Dr. Soerjono Soekanto: Sebagai alat untuk melaksanakan ketertiban dan
ketentraman dalam kehidupan bermasyarakat, sebagai sarana untuk mewujudkan
keadilan sosial, baik lahir maupun bathin, dan sebagai sarana untuk
menggerakkan pembangunan bagi masyarakat.
ü Menurut
Prof.Dr. Sunaryati Hartono: Sebagai sarana untuk memelihara ketertiban dan
keamanan dalam masyarakat; sebagai sarana untuk melaksanakan pembangunan,
sebagai sarana untuk menegakkan keadilan; dan sebagai sarana untuk memberikan
pendidikan (mendidik) masyarakat.
2.3. Pengertian Konflik Sosial
Karl
Marx melihat masyarakat sebagai sebuah proses perkembangan yang akan menyudahi
konflik melalui konflik. Konflik dapat kita artikan sebagai suatu proses sosial
antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak
berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak
berdaya.
Istilah konflik menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI) berarti percekcokan, perselisihan, pertentangan. Menurut asal katanya,
istilah ‘konflik’ berasal dari bahasa Latin ‘confligo’, yang berarti
bertabrakan, bertubrukan, terbentur, bentrokan, bertanding, berjuang,
berselisih, atau berperang.
Dalam pustaka Sosiologi, ada banyak definisi mengenai konflik sosial. Berikut adalah
beberapa diantaranya:
a. Konflik sosial adalah perselisihan mengenai
nilai-nilai atau tuntutan-tuntutan berkenaan dengan status, kuasa, dan
sumber-sumber kekayaan yang persediaannya terbatas. Pihak-pihak yang sedang
berselisih tidak hanya bermaksud untuk memperoleh sumber-sumber yang
diinginkan, tetapi juga memojokkan, merugikan atau menghancurkan lawan
mereka.(Lewis A Coser).
b. Konflik sosial adalah suatu proses sosial dimana
orang perorangan atau kelompok manusia berusaha untuk memenuhi apa yang menjadi
tujuannya dengan jalan menentang pihak lain disertai dengan ancaman dan/atau
kekerasan. (Leopold von Wiese).
c. Konflik sosial adalah konfrontasi kekuasaan/kekuatan
sosial. (R.J. Rummel).
d. Konflik sosial adalah kondisi yang terjadi ketika
dua pihak atau lebih menganggap ada perbedaan ‘posisi’ yang tidak selaras,
tidak cukup sumber, dan/atau tindakan salah satu pihak menghalangi, mencampuri
atau dalam beberapa hal membuat tujuan pihak lain kurang berhasil. (Duane
Ruth-Heffelbower)
2.4.
Faktor Penyebab Konflik Sosial
Konflik Antar Kelompok Sosial
Disebabkan Oleh:
1. Adanya
perbedaan antar kelompok sosial, baik secara fisik maupun mental, atau
perbedaan kemampuan, pendirian, dan perasaan sehingga menimbulkan pertikaian
atau bentrokan di antara mereka.
2. Perbedaan
pola kebudayaan seperti prbedaan adat istiadat, suku bangsa, agama, paham
politik, pandangan hidup, dan budaya darah sehingga mendorong timbulnya persaingan
dan pertentangan, bahkan bentrokan di antara anggota kelompok sosial tersebut.
3. Perbedaan
mayoritas dan minoritas yang dapat menimbulkan kesenjangan sosian di antara
kelompok sosial tersebut. Misalnya antara etnis Cina (minoritas) dan etnis
pribumi (mayoritas).
4. Perbedaan
kepentingan antar kelompok sosial, seperti perbedaan kepentingan politik,
ekonomi, sosial, budaya, agama, dan sejenisnya merupakan faktor penyebab
timbulnya konflik.
5. Perbedaan
individu. Perbedaan kepribadian antar individu bisa menjadi faktor
penyebab terjadinya konflik, biasanya perbedaan individu yang menjadi sumber
konflik adalah perbedaan pendirian dan perasaan. Setiap manusia adalah individu
yang unik, artinya setiap orang memiliki pendirian dan perasaan yang
berbeda-beda satu dengan lainnya. Perbedaan pendirian dan perasaan akan sesuatu
hal atau lingkungan yang nyata ini dapat menjadi faktor penyebab konflik
sosial, sebab dalam menjalani hubungan sosial, seseorang tidak selalu sejalan
dengan kelompoknya. Misalnya, ketika berlangsung pentas musik di lingkungan
pemukiman, tentu perasaan setiap warganya akan berbedabeda. Ada yang merasa
terganggu karena berisik, tetapi ada pula yang merasa terhibur.
6. Perbedaan
latar belakang kebudayaan. Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk
pribadi-pribadi yang berbeda. Seseorang sedikit banyak akan terpengaruh dengan
pola-pola pemikiran dan pendirian kelompoknya. Pemikiran dan pendirian yang
berbeda itu pada akhirnya akan menghasilkan perbedaan individu yang dapat
menghasilkan konflik.
7. Perbedaan
kepentingan antara individu atau kelompok Manusia memiliki perasaan, pendirian
maupun latar belakang kebudayaan.
8. Perubahan-perubahan
nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat. Perubahan adalah sesuatu
yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika perubahan itu berlangsung cepat atau
bahkan mendadak, perubahan tersebut dapat memicu terjadinya konflik sosial.
Misalnya, pada masyarakat pedesaan yang mengalami proses industrialisasi yang
mendadak akan memunculkan konflik sosial sebab nilai-nilai lama pada masyarakat
tradisional yang biasanya bercorak pertanian secara cepat berubah menjadi
nilai-nilai masyarakat industri.
Konflik antar suku bangsa:
Dalam
kehidupan masyrakat multikultural seperti indonesia, antara kelompok suku
bangsa yang satu dan suku bangsa yang lain terdapat perbedaan- perbedaan yang
khas. Perbedaan – perbedaan tersebut mencakup hal – hal sebagai berikut :
1. Perbedaan
tata susuanan dan kekerabatan, misalnya patrilineal, matrilineal, dan parental.
2. Perbedaan
seni bangunan rumah, peralatan kerja, dan pakaian-pakaian adat.
3. Perbedaan
kesenian daerah, misalnya tarian, musik, seni lukis, dan seni pahat.
4. Perbedaan
adat istiadat dalam perkawinan, upacara ritual, dan hukum adat.
5. Perbedaan
bahasa daerah, misalnya bahasa Jawa, Sunda, Madura, Bali, Batak, Papua,
Makassar, dan Minangkabau
Perbedaan
di atas, sering kali dapat menjadi pemicu timbulnya konflik antar kelompok suku
bangsa.
Konflik antar kelompok RAS:
Tiap-tiap
kelompok ras pasti menyadari perbedaan-perbedaan dalam kelompoknya, misalnya
tabiat, tingkah laku, etika pergaulan, dan ciri – ciri fisik (warna kulit,
warna mata,warna dan bentuk rambut, serta bentuk hidung). Adanya perbedaan
tersebut menyebabkan antara kelompok ras satu dan kelompok ras yang lainnya
terjadi pertenatangan. Misalnya, ras kulit hitam dengan ras kulit putih yang
menimbulkan politik apartheid yang merendahkan martabat orang kulit hitam.
2.5.
Sumber- Sumber Terjadinya Konflik Sosial
Konflik yang terjadi pada manusia bersumber pada berbagai
macam sebab. Begitu beragamnya sumber konflik yang terjadi antar manusia,
sehingga sulit itu untuk dideskripsikan secara jelas dan terperinci sumber dari
konflik. Hal ini dikarenakan sesuatu yang seharusnya bisa menjadi sumber
konflik, tetapi pada kelompok manusia tertentu ternyata tidak menjadi sumber
konflik, demikian halnya sebaliknya. suatu konflik dapat terjadi karena
perbendaan pendapat, salah paham, ada pihak yang dirugikan, dan perasaan
sensitif.
1. Perbedaan pendapat
Suatu
konflik yang terjadi karena pebedaan pendapat dimana masing-masing pihak merasa
dirinya benar, tidak ada yang mau mengakui kesalahan, dan apabila perbedaan
pendapat tersebut amat tajam maka dapat menimbulkan rasa kurang enak,
ketegangan dan sebagainya.
2.
Salah paham
Salah paham merupakan salah satu hal yang dapat menimbulkan
konflik. Misalnya tindakan dari seseorang yang tujuan sebenarnya baik tetapi
diterima sebaliknya oleh individu yang lain.
3.
Ada pihak yang dirugikan
Tindakan salah satu pihak mungkin dianggap merugikan yang
lain atau masing-masing pihak merasa dirugikan pihak lain sehingga seseorang
yang dirugikan merasa kurang enak, kurang senang atau bahkan membenci.
4.
Perasaan sensitif
Seseorang yang terlalu perasa sehingga sering menyalah
artikan tindakan orang lain. Kadang sesuatu yang sifatnya sepele bisa menjadi
sumber konflik antara manusia. Konflik dilatar belakangi oleh perbedaan
ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi. perbedaan-perbedaan
tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan,
adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Dengan dibawa sertanya ciri-ciri
individual dalam interaksi sosial, konflik merupakan situasi yang wajar dalam
setiap masyarakat dan tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami
konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya
akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri. Kesimpulannya
sumber konflik itu sangat beragam dan kadang sifatnya tidak rasional. Oleh
karena kita tidak bisa menetapkan secara tegas bahwa yang menjadi sumber
konflik adalah sesuatu hal tertentu, apalagi hanya didasarkan pada hal-hal yang
sifatnya rasional. Pada umumnya penyebab munculnya konflik kepentingan sebagai
berikut:
1. Perbedaan kebutuhan, nilai, dan
tujuan.
2. Langkanya sumber daya seperti kekuatan,
pengaruh, ruang, waktu, uang, popularitas dan posisi, dan Persaingan.
2.6. Bentuk-Bentuk Konflik Sosial
Soetopo
(1999) mengklasifikasikan jenis konflik, dipandang dari segi materinya menjadi
empat, yaitu:
1.
Konflik tujuan:
Konflik tujuan terjadi jika ada dua tujuan atau yang kompetitif bahkan yang
kontradiktif.
2.
Konflik peranan:
Konflik peranan timbul karena manusia memiliki lebih dari satu peranan dan tiap
peranan tidak selalu memiliki kepentingan yang sama.
3.
Konflik
nilai; Konflik nilai dapat muncul karena pada dasarnya nilai yang dimiliki
setiap individu dalam organisasi tidak sama, sehingga konflik dapat terjadi
antar individu, individu dengan kelompok, kelompok dengan organisasi.
4.
Konflik
kebijakan: Konflik kebijakan dapat terjadi karena ada ketidaksetujuan individu
atau kelompok terhadap perbedaan kebijakan yang dikemukakan oleh satu pihak dan
kebijakan lainnya.
2.7. Proses Terjadinya Konflik Sosial
Karakter pribadi yang mencakup sistem nilai individual tiap orang dan
karakteristik kepribadian, serta perbedaan individual bisa menjadi titik awal
dari konflik. Kognisi dan personalisasi adalah persepsi dari salah satu pihak
atau masing-masing pihak terhadap konflik yang sedang dihadapi. Kesadaran oleh
satu pihak atau lebih akan eksistensi kondisi-kondisi yang menciptakan
kesempatan untuk timbulnya konflik. Bilamana hal ini terjadi dan berlanjut pada
tingkan terasakan, yaitu pelibatan emosional dalam suatu konflik yang akan
menciptakan kecemasan, ketegangan, frustasi dan pemusuhan. Maksud adalah
keputusan untuk bertindak dalam suatu cara tertentu dari pihak-pihak yang
berkonflik. Maksud dari pihak yang berkonflik ini akan tercermin atau terwujud
dalam perilaku, walaupun tidak selalu konsisten.
Menurut
Robbins (1996) proses konflik terdiri dari lima tahap, yaitu:
1.
Oposisi atau ketidakcocokan potensial
2.
Kognisi dan personalisasi.
3.
Maksud.
4.
Perilaku.
5.
Hasil.
Oposisi atau ketidakcocokan potensial adalah adanya kondisi yang
mencipta-kan kesempatan untuk munculnya koinflik. Kondisi ini tidak perlu
langsung mengarah ke konflik, tetapi salah satu kondisi itu perlu jika konflik
itu harus muncul. Kondisi tersebut dikelompokkan dalam kategori: komunikasi,
struktur, dan variabel pribadi. Komunikasi yang buruk merupakan alasan utama
dari konflik, selain itu masalah-masalah dalam proses komunikasi berperan dalam
menghalangi kolaborasi dan merangsang kesalahpahaman. Struktur juga bisa
menjadi titik awal dari konflik. Struktur dalam hal ini meliputi: ukuran,
derajat spesialisasi dalam tugas yang diberikan kepada anggota kelompok,
kejelasan jurisdiksi, kecocokan anggota tujuan, gaya kepemimpinan, sistem
imbalan, dan derajat ketergantungan antara kelompok-kelompok. Variabel pribadi
juga bisa menjadi titik awal dari konflik. Pernahkah kita mengalami situasi
ketika bertemu dengan orang langsung tidak menyukainya? Apakah itu kumisnya,
suaranya, pakaiannya dan sebagainya. Karakter pribadi yang mencakup sistem
nilai individual tiap orang dan karakteristik kepribadian, serta perbedaan
individual bisa menjadi titik awal dari konflik. Kognisi dan personalisasi
adalah persepsi dari salah satu pihak atau masing-masing pihak terhadap konflik
yang sedang dihadapi. Kesadaran oleh satu pihak atau lebih akan eksistensi
kondisi-kondisi yang menciptakan kesempatan untuk timbulnya konflik. Bilamana
hal ini terjadi dan berlanjut pada tingkan terasakan, yaitu pelibatan emosional
dalam suatu konflik yang akan menciptakan kecemasan, ketegangan, frustasi dan
pemusuhan. Maksud adalah keputusan untuk bertindak dalam suatu cara tertentu
dari pihak-pihak yang berkonflik. Maksud dari pihak yang berkonflik ini akan
tercermin atau terwujud dalam perilaku, walaupun tidak selalu konsisten. Maksud
dalam penanganan suatu konflik ada lima, yaitu:
1. Bersaing,
tegas dan tidak kooperatif, yaitu suatu hasrat untuk memuaskan kepentingan
seseorang atau diri sendiri, tidak peduli dampaknya terhadap pihak lain dalam
suatu episode konflik.
2. Berkolaborasi,
bila pihak-pihak yang berkonflik masing-masing berhasrat untuk memenuhi
sepenuhnya kepentingan dari semua pihak, kooperatif dan pencaharian hasil yang
bermanfaat bagi semua pihak.
3. Mengindar,
bilamana salah satu dari pihak-pihak yang berkonflik mempunyai hasrat untuk
menarik diri, mengabaikan dari atau menekan suatu konflik.
4. Mengakomodasi,
bila satu pihak berusaha untuk memuaskan seorang lawan, atau kesediaan dari
salah satu pihak dalam suatu konflik untuk menaruh kepentingan lawannya diatas
kepentingannya.
5. Berkompromi,
adalah suatu situasi di mana masing-masing pihak dalam suatu konflik bersedia
untuk melepaskan atau mengurangi tuntutannya masing-masing.
Perilaku
mencakup pernyataan, tindakan, dan reaksi yang dibuat an untuk menghancurkan
pihak lain, serangan fisik yang agresif, ancaman dan ultimatun, serangan verbal
yang tegas, pertanyaan atau tantangan terang-terangan terhadap pihak lain, dan
ketidaksepakatan atau salah paham kecil. Hasil adalah jalinan aksi-reaksi
antara pihak-pihak yang berkonflik dan menghasilkan konsekuensi. Hasil bisa
fungsional dalam arti konflik menghasilkan suatu perbaikan kinerja kelompok,
atau disfungsional dalam arti merintangi kinerja kelompok.oleh pihak-pihak yang
berkonflik. Perilaku meliputi: upaya terang-terangan untuk menghancurkan pihak
lain, serangan fisik yang agresif, ancaman dan ultimatun, serangan verbal yang
tegas, pertanyaan atau tantangan terang-terangan terhadap pihak lain, dan
ketidaksepakatan atau salahpaham kecil. Hasil adalah jalinan aksi-reaksi antara
pihak-pihak yang berkonflik dan menghasilkan konsekuensi. Hasil bisa fungsional
dalam arti konflik menghasilkan suatu perbaikan kinerja kelompok, atau
disfungsional dalam arti merintangi kinerja kelompok.
Konflik
sosial bisa terjadi pada setiap lapisan masyarakat dan golongan. Dengan suatu
pertentangan yang bisa dijadikan ukuran untuk melakukan suatu pemberontakan,
maka konflik tersebut tidak bisa dihindari lagi karena Pertentangan dikatakan
sebagai konflik manakala pertentangan itu bersifat langsung, yakni ditandai
interaksi timbal balik di antara pihakpihak yang bertentangan. Selain itu,
pertentangan itu juga dilakukan atas dasar kesadaran pada masing-masing pihak
bahwa mereka saling berbeda atau berlawanan . Dalam hubungannya dengan
pertentangan sebagai konflik, Marck, Synder dan Gurr membuat kriteria yang
menandai suatu pertentangan sebagai konflik. Pertama, sebuah konflik harus melibatkan
dua atau lebih pihak di dalamnya; Kedua, pihak-pihak tersebut saling
tarik-menarik dalam aksi-aksi saling memusuhi (mutualy opposing actions).
Ketiga, mereka biasanya cenderung menjalankan perilaku koersif untuk menghadapi
dan menghancurkan “sang musuh”. Keempat, interaksi pertentangan di antara
pihak-pihak itu berada dalam keadaan yang tegas, karena itu keberadaan
peristiwa pertentangan itu dapat dideteksi dan dimufakati dengan mudah oleh
para pengamat yang tidak terlibat dalam pertentangan. Konflik dalam pengertian
yang luas dapat dikatakan sebagai segala bentuk hubungan antar manusia yang
bersifat berlawanan. Konflik adalah relasi-relasi psikologis yang antagonis,
berkaitan dengan tujuan-tujuan yang tak bisa dipertemukan, sikap-sikap
emosional yang bermusuhan, dan struktur-struktur nilai yang berbeda.
Konflik juga
merupakan suatu interaksi yang antagonis mencakup tingkah laku lahiriah yang
tampak jelas mulai dari bentuk perlawanan halus, terkontrol, tersembunyi, tak
langsung, sampai pada bentuk perlawanan terbuka. Konflik dapat dikatakan
sebagai suatu oposisi atau pertentangan pendapat antara orang-orang,
kelompok-kelompok, organisasi-organisasi yang disebabkan oleh adanya berbagai
macam perkembangan dan perubahan dalam bidang manajemen, serta menimbulkan
perbedaan pendapat, keyakinan dan ide. Hocker & Wilmot (1991) memberikan
definisi yang cukup luas terhadap konflik sebagai “an expressed struggle betwen
at least two interdependent parties who perceive incompatibel goal, scarce
rewards, and interference from the other parties in achieving their goals”.
Seseorang dikatakan terlibat konflik dengan pihak lain jika sejumlah
ketidaksepakatan muncul antara keduanya, dan masing-masing menyadari adanya
ketidaksepakatan itu. Jika hanya satu pihak yang merasakan ketidaksetujuan,
sedang yang lain tidak, maka belum bisa dikatakan konflik antara dua pihak.
Dengan kata lain, dua pihak harus menyadari adanya masalah sebelum mereka
berada di dalam konflik. Semua konflik seringkali dipandang sebagai pencapaian
tujuan satu pihak dan merupakan kegagalan pencapaian tujuan pihak lain. Hal ini
karena seringkali orang memandang tujuannya sendiri secara lebih penting,
sehingga meskipun konflik yang ada sebenarnya merupakan konflik yang kecil,
seolah-olah tampak sebagai konflik yang besar.
Konflik
muncul diakibatkan salah satunya perebutan sumberdaya. Misalnya, jika dua orang
duduk sebangku dalam kelas, maka bangku itu menjadi sumberdaya. Apabila salah
satu pihak bertingkah laku seakanakan mau menguasai kamar, pihak lain akan terganggu
maka terjadilah konflik diakibatkan sumberdaya. Pihak-pihak yang berkonflik
saling tergantung satu sama lain, karena kepuasan seseorang tergantung perilaku
pihak lain. Jika kedua pihak merasa tidak perlu untuk menyelesaikan masalah,
maka perpecahan tidak dapat dihindari. Banyak konflik yang tidak terselesaikan
karena masing-masing pihak tidak memahami sifat saling ketergantungan. Selama
ini konflik sering dihubungkan dengan agresi. Broadman & Horowitz
menyatakan bahwa konflik dan agresi merupakan dua hal yang berbeda. Konflik
tidak selalu menghasilkan kerugian, tetapi juga membawa dampak yang konstruktif
bagi pihak-pihak yang terlibat, sedangkan agresi hanya membawa dampak-dampak
yang merugikan bagi individu.
2.8. Cara Pengendalian Konflik Sosial
Pengendalian
konflik dapat dilakukan melalui tiga cara, yaitu dengan konsiliasi
(conciliation), mediasi (mediation), dan perwasitan (arbitration). Konflik
bertentangan dengan integrasi. Konflik dan integrasi berjalan sebagai sebuah
siklus di masyarakat. Konflik yang terkontrol akan menghasilkan integrasi.
Sebaliknya, integrasi yang tidak sempurna dapat menciptakan konflik.
Pengendalian konflik dengan cara konsiliasi, terwujud melalui lembaga-lembaga
tertentu yang memungkinkan tumbuhnya pola diskusi dan pengambilan keputusan di
antara pihak-pihak yang berkonflik. Lembaga yang dimaksud diharapkan berfungsi
secara efektif, yang sedikitnya memenuhi empat hal:
1. Harus
mampu mengambil keputusan secara otonom, tanpa campur tangan dari badan-badan
lain.
2. Lembaga
harus bersifat monopolistis, dalam arti hanya lembaga itulah yang berfungsi
demikian
3. Lembaga
harus mampu mengikat kepentingan bagi pihak-pihak yang berkonflik.
4. Lembaga
tersebut harus bersifat demokratis.
Tanpa keempat hal tersebut, konflik yang terjadi di antara beberapa
kekuatan sosial, akan muncul ke bawah permukaan, yang pada saatnya akan meledak
kembali dalam bentuk kekerasan. Pengendalian dengan cara mediasi, dengan maksud
bahwa pihak-pihak yang berkonflik bersepakat untuk menunjuk pihak ketiga
yang akan memberikan nasihat-nasihat, berkaitan dengan penyelesaian terbaik
terhadap konflik yang mereka alami. Pengendalian konflik dengan cara
perwasitan, dimaksudkan bahwa pihak-pihak yang berkonflik bersepakat untuk
menerima pihak ketiga, yang akan berperan untuk memberikan keputusan-keputusan,
dalam rangka menyelesaikan yang ada. Berbeda dengan mediasi, cara perwasitan
mengharuskan pihak-pihak yang berkonflik untuk menerima keputusan yang diambil
oleh pihak wasit.
2.9.Hubungan Hukum Dengan Konflik Sosial
Ungkapan
dalam sosiologi hukum yang lazim kita kenal berupa “Ubi Societas Ibi Ius”,
artinya dimana ada masyarakat disitu pasti ada hukum, yang gunanya adalah untuk
menjamin pulihnya keadaan sesegera mungkin setiap kali setelah terjadinya
pelanggaran (pelanggaran hukum apa saja)
terhadap hukum yang menimbulkan keresahan di masyarakat. Dengan demikian hukum
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat, karena hukum itu
diciptakan dan tumbuh berkembang dalam masyarakat untuk mengatur tata pergaulan
hidup agar tercipta ketertiban dan
harmonis sesuai dengan tatanan kehidupan yang berlaku dalam masyarakat.
Hukum
dalam masyarakat juga harus menunjukkan segi formalnya mengenai kehidupan hukum
itu sendiri, artinya disebut sebagai tulang-tulang yang menjadi kerangka bagi
bangunan hukum itu sendiri, sedangkan kata “masyarakat” dalam kaitan ini
bolehlah diibaratkan sebagai “dagingnya” Jadi ada kerangkanya dan ada
dagingnya. Oleh karena itu unsur bangunan hukum dalam suatu masyarakat terdiri
dari (1) sistem peraturan itu sendiri, (2) segi ideologisnya, (3) segi
manusianya, (4) segi struktur kemasyarakatannya dan (5) segi
fasilitas-fasilitas fisiknya.
Achmad
Ali menjelaskan bahwa penerapan hukum itu dalam hal tidak ada konflik dan dalam
hal terjadi konflik. Sehubungan dengan itu, hukum berfungsi sebagai mekanisme
untuk melakukan integrasi terhadap berbagai kepentingan warga masyarakat, yang
berlaku baik ada konflik maupun tidak ada konflik. Akan tetapi harus diketahui
bahwa dalam penyelesaian konflik konflik kemasyarakatan, bukan hanya hukum
satu-satunya sarana pengintegrasi, melainkan masih terdapat sarana
pengintegrasi lain seperti kaedah agama, kaedah moral, dan sebagainya.
Pada
prinsipnya kehadiran hukum berkaitan erat dengan salah satu bentuk penyelesaian
konflik yang netral dan tidak memihak. Dengan demikian terdapat suatu hubungan
yang erat antara hukum dengan konflik, sebagaimana telah dikatakan oleh Uger
didalam bukunya Soerjono Soekanto, yang
telah membagi konflik atas tiga bagian,
yaitu: (1) konflik antara kepentingan pribadi dengan kepentingan sosial, (2)
konflik antara kebebasan dengan paksaan, (3) konflik antara negara dengan
masyarakat. Kemudian Uger menempatkan studi hukum di dalam kerangka
permasalahan umum dalam teori sosial seperti pada ketiga konflik tersebut di
atas. Sehingga dalam menyelesaian konflik
penegakan hukum sangat penting, (dengan sendirinya tidak mengabaikan
betapa pentingnya juga penyelesaian melalui jalur non juridis).
Sebenarnya
secara substansial berbagai peraturan perundang-undangan untuk menyelesaikan
konflik sosial yang terjadi selama ini sudah tersedia, namun realitas yang kita
temui sampai saat ini penyelesaian konflik sosial sulit diselesaikan melalui
pendekatan judicial, seolah-olah hukum sudah mati sebagaimana dikatakan
oleh M. Trubek dikala sistem penegakan hukum
dihadapkan pada konflik sosial yang sudah anarkhi, sehingga merupakan
suatu tontonan atas keresahan, dan
kesenjangan yang setiap hari dapat kita
lihat di negeri ini, sehingga
prinsip-prinsip untuk menjunjung supremasi hukum demi terwujudkan keadaan dan
kepastian hukum lebih tepat disebut sebagai retorika saja. Oleh karena itu
ada beberapa proposisi yang berkaitan
dengan kekurang berdayaan penegakan hukum untuk mengatasi konflik sosial yaitu:
(1) aparat hukum memang tidak memiliki komitmen untuk mewujudkan supremasi
hukum, (2) komitmen yang ada ternyata
tidak cukup tinggi, sehingga supremasi hukum yang terwujud berbentuk setengah-setengah,
inkonsisten, dan atau diskriminatif, dan
(3) terdapatnya komitmen yang tinggi
atau cukup kuat untuk mewujudkan supremasi hukum, namun banyak kendala yang
dihadapi karena pengakan hukum tidak bisa hanya dilakukan tanda dukungan maupun
kerja sama dengan pihak-pihak terkait, utamanya juga kesadaran dari
masyarakatnya sendiri.
Secara khusus dalam Perpres Nomor 7
Tahun 2005 pada Bab 4 tentang Peningkatan Keamanan, Ketertiban, dan
Penanggulangan Kriminalitas, telah menjadikan suatu permasalahan yang harus
diperbaiki yaitu “kurangnya profesionalisme lembaga kepolisian”. Oleh karena
itu, diperlukan lembaga kepolisian yang memiliki profesionalisme yang efektif,
efisien, dan akuntabel, yang mengintegrasikan aspek struktural (institusi,
organisasi, susunan, dan kedudukan), aspek instrumentalia (filosopi, doktrin,
kewenangan, konpetensi, kemampuan, fungsi, dan iptek), dan aspek kultur (sumber
daya, manajemen operasional, dan sistem pengamanan masyarakat).
3.
Penutup
3.1. simpulan
Manusia sebagai makhluk
social yang selalu berinteraksi dengan sesama yang ketika melakukan suatu
interaki dengan sesama manusia terkadang diwarnai dengan adanya konflik karena
konflik merupakan bagian dari kehidupan manusia. Perbedaan dan pertentangan –
pertentangan yang terkadang terjadi di antara sesama bias menyebabkan suatu
masalah yang jika terus dibiarkan berlarut – larut akan menyebabkan suatu
masalah yang besar. Biasanya konflik – konflik yang terjadi bias menghasilakn
sesuatu yang lain dari sebelumnya, yang antara lain adalah meningkatkan
solidaritas antara sesama kelompok, keretakan antar kelompok yang bertikai,
kerus harta benda dan hilangnya nyawa manusia, perubahan kepribadian
individu, dan lain – lain.
Sebenarnya antara hukum
dan konflik merupakan dua komponen yang tidak dapat dipisahkan, satu dengan yang
lain, karena hukum dibentuk antara lain untuk mengatasi atau menyelesaikan
suatu konflik.
3.2.
saran
Sebaiknya kita sebagai
bangsa ang beragama dan juga Negara kita adalah Negara hukum,berusaha
menghindari adanya konflik sosial di antara masyarakat, agar Negara kita
ini bisa menjadi Negara yang penuh dengan kedamaian dan bebas dari
konflik dan pertentangan.
DAFTAR
RUJUKAN
Soekanto, Soerjono. 2006.Sosiologi, Suatu
Pengantar. Jakarta : PT Rajagrafindo.
Campbell, Tom. 1994. Tujuh Teori Sosial,
Sketsa Penilaian perbandingan. Yogyakarta: kaanisius.